MENJAGA
BATAS-BATAS AGAMA
Agama adalah ajaran tuhan
yang dibuat untuk kemashlahatan manusia.
Agama tidak jatuh diruang
hampa. Namun hadir untuk menjawab semua
problem manusia di alam
semesta. Allah menurunkan ajaran-Nya karena
Maha Tahu segala
seluk-beluk watak, keadaan, dan hajat hidup manusia
dan makhluk ciptaan-Nya.
Agama sungguh dibutuhkan manusia secara
absolut dari yang
menciptakannya.
Saat ini banyak yang mencoba membenturkan agama dengan
problem kekinian. Dengan demokrasi, dengan HAM, atau dengan cinta dan rasa
kemanusiaan yang lain. Bahkan ada yang meletakkan demokrasi dengan HAM yang
notabene ciptaan manusia seolah diatas agama. Jika ajaran agama meski yang
bersifat prinsip bertentangan secara tegas dengan demokrasi dan HAM maka agama
dianggap kolot dan harus menesuaikannya. Sebutlah tentang hak “kawin” sesama
jenis, nikah beda agama, meyakini adanya Nabi setelah Muhammad bagi orang
islam, dan lain-lain.
Bagi umat islam, ajaran islam adalah agama Allah yang
sempurna. Tidak ada syariat lain sesudah wafat-Nya Nabi Muhammad saw. Islam dan
seluruh ajarannya dijamin akan sejalan dengan dan membawa kemashlahatan hidup
semesta di sepanjang zaman. Salamatun li
kulli zaman wa makan. Dari syariah induk yang abadi itu para ahli hukum
islam masa lalu berijtihad dengan berbagai macam pemahaman (fiqih dalam arti
luas) yang melahirkan berbagai kitab hukum dan yang lainnya. Diantara hasil
ijtihad para ulama masa lalu itu sudah barang tentu ada yang perlu ditinjau
ulang. Namun segala yang sudah digariskan secara tegas dan jelas tentu harus
dijalankan oleh umatnya.
Problem kemanusiaan saat ini sudah barang tentu tidak sama
dengan problem masa lalu, ketika hukum hasil ijtihad ulama itu dibuat. Tidak
memerlukan waktu abad, hanya dalam hitungan tahun, ketika tantangan dan keadaan
mengalami perubahan Imam Syafi’i pernah membuat qaul qadim dan juga qaul
jadid. Keduanya saling melengkapi tergantung keadaan seperti apa yang cocok
digunakan.
Namun, saat ini muncul pula semangat untuk berijtihad yang
seperti melampaui batas. Hal yang sudah jelas disebut dalam Qur’an juga hendak
“diijtihadkan”. Atas nama HAM dan cinta sekelompok kecil orang islam di Prancis
mendirikan “masjid” khusus bagi kaum pecinta sesama jenis. Mereka juga
“Menikah”. “ijtihad” sepereti ini jelas tidak bisa disamakan dengan ijtihad
Ummar bin Khatab yang tidak membagi habis semua harta peramasan perang seperti
pada masa Nabi.
Atas nama HAM dan cinta sekelompok anak muda di Indonesia
mengajukan gugatan pada UU No 01 tahun 1974 tentang perkawinan. Mereka mendesak
pemerintah RI agar mengizinkan dan mengesahkan perkawinan pasangan yang berbeda
agama.
Atas nama demokrasi ada pula orang islam yang mengususlkan
agar pemerintah memperbaiki do’a di sekolah-sekolah, agar mengutamakan menyebut
Tuhan yang lebih umum daripada Allah SWT yang khusus milik umat islam. Mengaku
ada Nabi setelah Nabi Muhammad atau bahkan mengaku diri sebgai Nabi dilindungi
demokrasi dan HAM.
Atas nama demokrasi semakin banyak pula orang-orang yang
hendak meminggirkan hukum agama dari ruang publik. Agama ini dikotakkan diruang
pribadi semata, yang haram diurus oleh negara. Agama harus berbeda jauh diluar
negara.
Di titik inilah agama, khususnya islam, jelas memiliki
batas-batasnya sendiri, yang tidak bisa direduksi oleh “ajaran” demokrasi dan
HAM manakala prinsipnya sudah jelas dan tegas. Disitulah demokrasi dan HAM
harus menghormati keberadaan agama dan keyakinan pemeluknya yang lurus demi
kemashlahatan hidup manusia yang hakiki.
Sumber : Suara Muhammadiyah