Connect with Us


Rabu, 28 Januari 2015

Menjaga Batas-Batas Agama



MENJAGA
BATAS-BATAS AGAMA

Agama adalah ajaran tuhan yang dibuat untuk kemashlahatan manusia.
Agama tidak jatuh diruang hampa. Namun hadir untuk menjawab semua
problem manusia di alam semesta. Allah menurunkan ajaran-Nya karena
Maha Tahu segala seluk-beluk watak, keadaan, dan hajat hidup manusia
dan makhluk ciptaan-Nya. Agama sungguh dibutuhkan manusia secara
absolut dari yang menciptakannya.

Saat ini banyak yang mencoba membenturkan agama dengan problem kekinian. Dengan demokrasi, dengan HAM, atau dengan cinta dan rasa kemanusiaan yang lain. Bahkan ada yang meletakkan demokrasi dengan HAM yang notabene ciptaan manusia seolah diatas agama. Jika ajaran agama meski yang bersifat prinsip bertentangan secara tegas dengan demokrasi dan HAM maka agama dianggap kolot dan harus menesuaikannya. Sebutlah tentang hak “kawin” sesama jenis, nikah beda agama, meyakini adanya Nabi setelah Muhammad bagi orang islam, dan lain-lain.
Bagi umat islam, ajaran islam adalah agama Allah yang sempurna. Tidak ada syariat lain sesudah wafat-Nya Nabi Muhammad saw. Islam dan seluruh ajarannya dijamin akan sejalan dengan dan membawa kemashlahatan hidup semesta di sepanjang zaman. Salamatun li kulli zaman wa makan. Dari syariah induk yang abadi itu para ahli hukum islam masa lalu berijtihad dengan berbagai macam pemahaman (fiqih dalam arti luas) yang melahirkan berbagai kitab hukum dan yang lainnya. Diantara hasil ijtihad para ulama masa lalu itu sudah barang tentu ada yang perlu ditinjau ulang. Namun segala yang sudah digariskan secara tegas dan jelas tentu harus dijalankan oleh umatnya.
Problem kemanusiaan saat ini sudah barang tentu tidak sama dengan problem masa lalu, ketika hukum hasil ijtihad ulama itu dibuat. Tidak memerlukan waktu abad, hanya dalam hitungan tahun, ketika tantangan dan keadaan mengalami perubahan Imam Syafi’i pernah membuat qaul qadim dan juga qaul jadid. Keduanya saling melengkapi tergantung keadaan seperti apa yang cocok digunakan.
Namun, saat ini muncul pula semangat untuk berijtihad yang seperti melampaui batas. Hal yang sudah jelas disebut dalam Qur’an juga hendak “diijtihadkan”. Atas nama HAM dan cinta sekelompok kecil orang islam di Prancis mendirikan “masjid” khusus bagi kaum pecinta sesama jenis. Mereka juga “Menikah”. “ijtihad” sepereti ini jelas tidak bisa disamakan dengan ijtihad Ummar bin Khatab yang tidak membagi habis semua harta peramasan perang seperti pada masa Nabi.
Atas nama HAM dan cinta sekelompok anak muda di Indonesia mengajukan gugatan pada UU No 01 tahun 1974 tentang perkawinan. Mereka mendesak pemerintah RI agar mengizinkan dan mengesahkan perkawinan pasangan yang berbeda agama.
Atas nama demokrasi ada pula orang islam yang mengususlkan agar pemerintah memperbaiki do’a di sekolah-sekolah, agar mengutamakan menyebut Tuhan yang lebih umum daripada Allah SWT yang khusus milik umat islam. Mengaku ada Nabi setelah Nabi Muhammad atau bahkan mengaku diri sebgai Nabi dilindungi demokrasi dan HAM.
Atas nama demokrasi semakin banyak pula orang-orang yang hendak meminggirkan hukum agama dari ruang publik. Agama ini dikotakkan diruang pribadi semata, yang haram diurus oleh negara. Agama harus berbeda jauh diluar negara.
Di titik inilah agama, khususnya islam, jelas memiliki batas-batasnya sendiri, yang tidak bisa direduksi oleh “ajaran” demokrasi dan HAM manakala prinsipnya sudah jelas dan tegas. Disitulah demokrasi dan HAM harus menghormati keberadaan agama dan keyakinan pemeluknya yang lurus demi kemashlahatan hidup manusia yang hakiki.

Sumber : Suara Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar